Apakah Merger Perguruan Tinggi Berarti Penutupan Perguruan Tinggi? (Meluruskan Pemahaman Tentang Merger Perguruan Tinggi)
Oleh: Hironimus Bao Wolo
IKTL, Larantuka – Akhir-akhir ini lembaga pendidikan tinggi dihebohkan dengan wacana merger perguruan tinggi yang memiliki jumlah mahasiswa kurang dari 1000 orang. Ketika wacana merger ini digaungkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), beragam tanggapan bermunculan. Tanggapan tersebut baik datang dari perguruan tinggi itu sendiri maupun tanggapan dari masyarakat. Bagi perguruan tinggi, wacana merger pada satu sisi memberikan kemudahan dalam peningkatan kualitas lembaganya, namun pada sisi lain bisa menimbulkan problem baru. Problem baru tersebut bisa berupa perebutan aset kepemilikan dan pembagian keuntungan dari Badan Penyelenggara (Yayasan) akibat merger tersebut.
Selain tanggapan dari lembaga pendidikan tinggi, beragam tanggapan juga datang dari masyarakat dengan pelbagai macam pemahamannya terkait wacana merger ini. Sebagian masyarakat mengartikan merger perguruan tinggi sebagai penutupan atau pembubaran suatu perguruan tinggi. Pada titik ini perlu diluruskan soal pemahaman demikian.
Tulisan ini sebenarnya lahir dari sebuah kepedulian untuk meluruskan pemahaman masyarakat soal wacana merger pergurun tinggi ini. Merger perguruan tinggi bukan berarti penutupan atau pembubaran sebuah perguruan tinggi melainkan penggabungan dan penyatuan 1 (satu) atau lebih perguruan tinggi menjadi 1 (satu) perguruan tinggi baru atau penyatuan ke dalam 1 (satu) perguruan tinggi lain. Jika menelisik kata merger dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008: 905) diartikan “sebagai penyatuan usaha sehingga tercapai pemilikan dan/atau pengawasan bersama” atau diartikan sebagai “penggabungan dua atau lebih perusahaan di bawah satu pemilikan”. Bagian ini akan dijelaskan pada poin selanjutnya dengan bertolak dari Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 100 Tahun 2016 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.
Merger Perguruan Tinggi menurut Aturan Hukum
Pasal 15 Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 100 Tahun 2016 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta (Permenristekdikti Nomor 100 Tahun 2016), menyebutkan tentang merger ini. Secara khusus Pasal 15 huruf d dan e Permenristekdikti Nomor 100 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa perubahan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dapat berupa penggabungan 2 (dua) atau lebih PTS menjadi 1 (satu) PTS baru atau penyatuan 1 (satu) atau lebih PTS ke dalam 1 (satu) PTS lain.
Ada beberapa alasan mendasar yang menyebabkan sebuah PTS dimerger, yakni: pertama, kesamaan visi sebuah PTS dengan PTS lain, sehingga merger antar PTS yang kemudian melahirkan 1 (satu) PTS baru di bawah satu Badan Penyelenggara akan mempermudah pencapaian visi tersebut; kedua, ketidakmampuan beberapa PTS dalam pengelolaan lembaganya baik dari sisi akademik maupun dari sisi non akademik. Oleh sebab itu, merger diyakini sebagai sebuah jalan untuk membangun kembali kesanggupan baik dari sisi akademik maupun non akademik. Merger ini akan melahirkan 1 (satu) PTS baru dan dikelolah oleh sebuah Badan Penyelenggara baru (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2018: 9); ketiga, jumlah mahasiswa kurang dari 1000 orang.
Mencermati ketiga alasan merger di atas dan berdasarkan situasi terkini, maka alasan paling kuat wacana merger adalah terkait jumlah mahasiswa kurang dari 1000 orang pada sebuah perguruan tinggi. Merger sebagaimana disebutkan di atas, pada intinya bertujuan untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi yang berkelanjutan (continuous quality improvement). Terkait keterjalinan antara jumlah mahasiswa dan mutu pendidikan, Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Paristiyanti Nurwardani pernah menuturkan bahwa salah satu mutu pendidikan dilihat dari jumlah mahasiswa yang menempuh pendidikan di sebuah kampus tersebut (www.fajarpendidikan.co.id).
Merger Bukan Penutupan Perguruan Tinggi
Bertolak dari aturan hukum terkait merger perguruan tinggi di atas, maka menjadi jelas bahwa merger perguruan tinggi bukan berarti penutupan sebuah program studi. Jika berbicara tentang penutupan sebuah perguruan tinggi atau bahasa hukumnya disebut pembubaran dan pencabutan izin perguruan tinggi, maka sama sekali tidak berhubungan dengan istilah merger.
Ada aturan dan tahapan khusus berkaitan dengan pembubaran dan pencabutan izin perguruan tinggi. Hal ini juga sudah diatur dalam Permenristekdikti Nomor 100 Tahun 2016, khususnya Pasal 17, 18 dan 19. Saya coba mengangkat salah satu pasal berkaitan dengan hal ini yakni Pasal 19 tentang Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. Ada beberapa alasan mendasar ketika sebuah Perguruan Tinggi Swasta dicabut izin operasinya yakni PTS tersebut tidak terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT); perubahan kebijakan pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan; diusulkan oleh Badan Penyelenggara (Yayasan); pembubaran Badan Penyelenggara; tidak lagi memiliki syarat pendirian; dan apabila PTS tersebut dikenai sanksi administratif berat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa isu tentang penutupan atau pembubaran sebuah perguruan tinggi karena lahirnya aturan merger itu tidak dapat dibenarkan. Merger tidak ada hubungannya dengan penutupan atau pembubaran sebuah perguruan tinggi. Oleh karena itu, semoga tulisan ini mampu membuka wawasan kita semua akan merger perguruan tinggi yang sedang gencar-gencarnya dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dewasa ini. Pada intinya, merger perguruan tinggi sebagai salah satu bentuk peningkatkan kualitas perguruan tinggi tersebut dari pelbagai macam aspek.***